Minggu, 22 Des 2024
Hukum

PELANTIKAN DPR RI DAN TUNGGAKAN LEGISLASI PERIODE 2019-2024

NAUPAL AL RASYID, SH., MH

(Direktur LBH FRAKSI ’98)

Dalam perspektif UUD 1945 fungsi DPR terdiri dari fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Adapun dalam melaksanaakan fungsinya sebagaimana dijelasakan pada Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Serta setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan usul dan berpendapat sekaligus hak imunitas. Sedangkan kedudukan DPR sangat kuat, karena presiden tidak dapat membekukan ataupun membubarkan DPR sebagaimana ketentuan pada Pasal 7C UUD 1945 dan di antara fungsi legislasi DPR, sebagaimana diketahui bahwa pembuatan undang-undang (UU) memerlukan kerja sama antara DPR dan Presiden. Bahkan untuk itu pembuatan undang-undang dimulai dari penyiapan rancangan undang-undang (RUU), pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR bersama pemerintah, persetujuan bersama atas rancangan undang-undang untuk menjadi undang-undang dan pengesahan undang-undang oleh Presiden. Rancangan undang-undang bisa datang dari DPR dan bisa juga datang dari Pemerintah. Namun, tunggakan proses legislasi terkait dengan lembaga DPR adalah seberapa banyak rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR, bagaimana peran anggotaa-anggota DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang untuk ditetapkan menjadi undang-undang dan seberapa besar pencapaian target pembuatan undang-undang sebagaimana tertuang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sepanjang periode 2019-2024.

Laporan proses legislasi menjadi UU dalam rapat paripurna DPR terakhir, meskipun sempat menuai kontroversi dengan penetapan sejumlah undang-undang, seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Kesehatan, UU Kementerian Negara, UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) hingga UU Penyiaran, kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 lebih baik daripada periode sebelumnya. DPR R menyelesaikan 225 Undang-Undang selama periode 2019-2024. Jumlah itu lebih baik dibandingkan DPR periode 2014-2019 yang hanya berhasil menyelesaikan 91 Undang-Undang. “Dengan demikian, selama periode 2019 sampai 2024, DPR RI telah menyelesaikan 225 Rancangan Undang-Undang (RUU). Yang terdiri atas 48 RUU dari daftar Prolegnas 2019-2024. 177 RUU kumulatif terbuka dan terdapat 5 RUU yang tidak dilanjutkan pembahasannya. Namun, jumlah tersebut ternyata masih jauh dari daftar program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2020-2024 yang disepakati melalui Rapat Paripurna ke-5 Tahun Sidang 2019-2020, yakni sebanyak 248 UU. (Kompas.com, 30/9/2024).

Berkenaan dengan pelaksanaan fungsi legislasi DPR, telah menjadi pemahaman umum bahwa sebagian besar bahkan hampir semua rancangannya datang dari Presiden. Keadaan yang demikian menunjukkan betapa pemerintah memiliki peran yang jauh lebih besar dalam pembuatan undang-undang dibandingkan dengan DPR. Ada alasan mengapa DPR kurang berinisiatif mengajukan rancangan undang-undang dan lebih banyak datang dari pemerintah, yaitu pertama karena pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan adalah pihak yang paling tahu tentang aturan-aturan yang diperlukan agar pemerintahan berjalan dengan baik, dan arah pengaturan yang sebaiknya diwujudkan. Menurut Jimly Asshiddiqie (2006), bahwa praktik ketatanegaraan dimana pihak Pemerintah cenderung lebih mendominasi dalam mengajukan RUU dibandingkan dengan lembaga legislatif, pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal, Pertama, pemerintah yang paling banyak memiliki informasi atau paling mengetahui mengenai apa, kapan, dan mengapa sesuatu kebijakan harus diatur dengan undang-undang. Disamping itu, para anggota lembaga perwakilan yang juga politisi memang tidak disyaratkan harus memiliki kualifikasi sebagai perancang undang-undang. Kedua,tenaga ahli atau orang-orang yang memiliki keahlian teknis mengenai sesuatu hal yang perlu dituangkan dalam undang-undang paling banyak berada dalam lingkungan pemerintahan atau di lingkungan yang dapat lebih mudah diakses oleh fungsi-fungsi pemerintaahan. Ketiga, pemerintah juga memiliki persediaan dana atau anggaran yang paling banyak untuk membiayai segala sesuatu yang berkenaan dengan kegiatan penelitian dan perancangan undang-undang.

Terkait dengan hal di atas, Rofiq Hidayat (2022) mengungkapkan bahwa “DPR kerap kali disibukkan dengan persoalan pengawasan ketimbang legislasi. Sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) acapkali molor pembahasannya. Tak melulu kendala berada di pihak DPR, namun pemerintah kerap pula mengalami kendala. Misalnya, pada sidang tahun pertama setidaknya telah dipetakan berbagai tantangan. Antara lain keterlambatan pengesahan Prolegnas, tahap penyusunan lantaran penyebabnya belum tersedianya naskah akademik. Kemudian, penyampaian RUU dari pemerintah beserta kesiapan dalam pembahasan bersama DPR. Tak hanya itu, prioritas dan alokasi waktu rapat DPR yang belum terfokus pada bidang legislasi. Bahkan Badan Legislasi (Baleg) yang tak memiliki peran signifikan dalam penyiapan RUU”. Bila dibandingkan dengan pelaksanaan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, fungsi legislasi yang sebetulnya merupakan fungsi utama yang harus dijalankan oleh DPR berjalan agak lambat sepanjang periode 2019-2024. Salah satunya karena dalam menjalankan fungsi legislasi tersebut membutuhkan penguasaan substansi dan teknis yang tinggi, karena pembahasannya mencakup pengaturan yang sifatnya rinci. Selain itu juga banyaknya kompromi yang bisa diakomodasi dalam rincian pasal-pasal, sehingga “daya kontroversi”nya lebih sedikit dibandingkan dengan unjuk sikap pada fungsi pengawasan dan anggaran. Oleh karenanya, hubungan DPR dengan Pemerintah lebih banyak mencuat soal anggaran dan pengawasan. Sedangkan soal legislasi, kinerja DPR dipandang kurang. Kapasitas DPR sendiri sangat terbatas, sehingga kalaupun ada inisiatif yang dipergunakan, kebanyakan sifatnya seperti bola liar, tergantung kepada konfigurasi politik DPR yang sangat berwarna. Akibatnya politik legislasi Indonesia tidak mendapat arah yang jelas (http://parlemen.net, 2007).

Oleh karena itu, tunggakan fungsi legislasi DPR RI yang hanya mengesahkan 48 UU dari total 255 daftar prolegnas. Angka ini terbilang sedikit. Direktur Komisi Pemantau Legislatif (Kopel) Jabodetabek, Anwar Razak, mengatakan selain jumlah RUU yang disahkan sangat sedikit, proses legislasi DPR RI juga dinilainya buruk. Ia mencontohkan bagaimana proses pembentukan RUU Pilkada yang sangat singkat menunjukkan pragmatisme dalam penyusunan legislasi. “Jadi kalau ada kepentingan yang mendesak ke depan, itu dipercepat Undang-Undang-nya,” kata Anwar. Padahal, kata Anwar, banyak RUU yang seharusnya menjadi perhatian anggota DPR RI untuk segera disahkan karena menyangkut kepentingan masyarakat. Misalnya, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat. Ia mengatakan DPR RI justru bergerak cepat mengesahkan RUU yang mewakili penguasa dan pengusaha, seperti RUU Dewan Pertimbangan Presiden dan RUU Kementerian Negara. Selain masalah legislasi, Anwar juga mengkritik agenda reses anggota DPR RI yang lebih banyak dari sebelumnya. (TEMPO.CO, 30 September 2024).

Menyadari adanya tunggakan fungsi legislasi DPR sepanjang periode 2019-2024 tersebut, sebaiknya langkah pergerakan DPR dibandingkan dengan pemerintah dalam hal mempersiapkan naskah RUU, DPR tidak hanya memusatkan perhatian pada fungsi pengawasan. Keseimbangan antara rapat dengar pendapat atau meminta keterangan yang dilakukan oleh komisi-komisi DPR dengan pejabat pemerintah dari berbagai departemen, kunjungan kerja ke daerah atau studi banding ke luar negeri, seharusnya perhatian para anggota DPR secara sistematis dengan pekerjaan mempersiapkan RUU untuk meningkatkan fungsi legislatif DPR. Serta lebih membuka ruang yang lebar bagi masyarakat dan organisasi non pemerintah, serta akademisi dari berbagai Perguruan Tinggi untuk melakukan kerja-sama dalam rangka mempersiapkan naskah RUU.

Sehingga dalam rangka proses legislasi dengan pelantikan DPR periode 2024-2029 dan tunggakan fungsi legislasi DPR periode 2019-2024 yang hanya mengesahkan 48 UU dari total 255 daftar prolegnas, maka diperlukan peningkatan pengetahuan dan wawasan anggota DPR tentang fenomena dan kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya dan hankam yang selalu berubah dan peningkatan kemampuan teknis atau skill anggota DPR terutama dalam menjalankan fungsi legislasi. Selain itu, juga membutuhkan penguasaan substansi dan teknis yang tinggi serta perlunya peningkatan syarat kapabilitas anggota DPR dalam memahami substansi materi RUU dengan memiliki kualifikasi perancang UU untuk dapat mempercepat proses legislasi di DPR periode 2024-2029 berupa akomodasi dalam rincian pasal-pasal UU yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara luas.



Baca Juga