Minggu, 22 Des 2024
Hukum

OPTIMALISASI KEWENANGAN BAWASLU DALAM PILKADA 2024

 NAUPAL AL RASYID, SH., MH

(Direktur LBH Fraksi ‘98)

Perbandingan kewenangan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam UU UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu bukan hanya sekadar lembaga pemberi rekomendasi, tetapi juga sekaligus sebagai eksekutor dan pemutus perkara. Hal tersebut bisa dilihat dalam Pasal 461 ayat (1) UU No 7 tahun 2017 yang berbunyi: Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutuskan pelanggaran administrasi Pemilu. Kemudian ayat (6) berbunyi: Putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi Pemilu berupa: a. perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. teguran tertulis; c. tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam Penyelenggaraan Pemilu; dan d. sanksi administrasi lainnya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Artinya, dalam UU Pemilu, fungsi kewenangan Bawaslu juga mencakup di dalamnya sebagai fungsi penegakan hukum.

Namun, pelaksanaan Pilkada yang berpijak pada UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada), kewenangan Bawaslu bisa dibilang sangat lemah, bahkan nyaris eksistensinya tidak dirasakan di lapangan. Sebagai contoh, dalam kewenangan administrasi, UU Pilkada memberikan kewenangan kepada Bawaslu hanya sebatas memberikan rekomendasi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait adanya kasus pelanggaran administrasi yang dilakukan peserta Pilkada. Tidak hanya itu, proses pembuatan rekomendasi dilakukan secara tertutup, dimulai dengan klarifikasi, melakukan kajian, hingga keluar rekomendasi. Kewenangan semacam itu adalah jelas sebuah langkah mundur jika dibandingkan dengan kewenangan Bawaslu dalam UU No 7 tahun 2017 yang menempatkan Bawaslu layaknya lembaga peradilan, yaitu menggelar sidang pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh peserta Pemilu. Dalam UU No 7 tahun 2017, kewenangan Bawaslu di dalam penanganan administratif dilakukan melalui proses yang terbuka, adjudikasi dan outputnya adalah produk putusan.

Dalam menjalankan tugas pengawasan Bawaslu sebagai salah satu lembaga pengawas Pilkada mempunyai kelemahan atau masalah tersendiri terkait dengan tindak lanjut penangan pelanggaran di antaranya: Pertama, Rekomendasi Pengawas Pemilu yang telah dikaji dan dibuktikan kebenarannya harus kembali diperiksa ulang oleh KPU untuk dibuktikan kembali, sehingga seringkali rekomendasi tidak dilaksanakan oleh KPU. Kedua, Putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kab/Kota yang mempengaruhi hasil suara dinilai oleh KPU merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sehingga Putusan tidak dilaksanakan oleh KPU. Ketiga, pemahaman yang berbeda antara Komisi ASN (KASN) yang menilai bahwa setiap laporan terkait tidak netralnya ASN merupakan pelanggaran Pemilihan dan menjadi kewenangan Bawaslu seutuhnya membuat proses tindak lanjut menjadi tidak maksimal. Keempat, dalam proses Tindak Pidana Pemilihan, laporan seringkali dihentikan pada saat pembahasan atau dihentikan pada saat penyidikan tanpa dasar hukum yang jelas. Kelima, perbedaan perspektif hukum dengan Mahkamah Agung dalam memaknai pelanggaran administrasi yang terjadi secara TSM membuat terjadi perbedaan penafsiran dalam proses pembuktian pelanggaran tersebut. Keenam, Mahkamah Agung turut menerima, memeriksa, dan memutus rekomendasi Pengawas Pemilu yang membatalkan pencalonan Peserta Pemilihan (vide, Pasal 71 ayat 2 dan 3 UU Pilkada). Sebaliknya, pengaturan kewenangan Bawaslu yang sangat minim merupakan langkah yang kurang strategis dalam perwujudan sistem pengawasan Pilkada. Konsekuensinya, kinerja dan daya paksa Bawaslu menjadi kurang maksimal. Dalam proses ini, diperlukan koordinasi yang kuat antarlembaga. Kurangnya koordinasi dengan instansi yang terkait dalam penyelesaian pelanggaran akan menghambat kinerjanya (Firmanzah, 2020).

Sebagaimana diketahui, pengawasan penyelenggaraan Pilkada 2024 diadakan agar kedaulatan rakyat dapat diwujudkan dalam hak pilih warga negara bisa tersalurkan dengan sebenarnya yang merupakan suatu kehendak yang didasari keprihatinan luhur (ultimate concern) demi tercapainya Pilkada yang berkualitas dan berintegritas. Selain mendorong penyelenggaraan Pilkada yang berlandaskan asas luber jurdil (free and fair election), kepastian hukum (predictable procedure), hasil Pilkada sesuai pilihan pemilih (electoral integrity) dan penegakan hukum yang adil (electoral justice) juga menjadi bagian bagi keberlanjutan demokrasi di Indonesia. Pengawasan yang melibatkan partisipasi masyarakat adalah suatu kebutuhan dasar (basic an objective needs) dari Pilkada. Pengawasan merupakan keharusan, bahkan menjadi elemen yang melekat pada momentum tanpa manipulasi dan kecurangan Pilkada. Bagir Manan (2001), mengemukakan bahwa pengawasan adalah suatu bentuk hubungan dengan sebuah legal entity yang mandiri, bukan hubungan internal dari entitas yang sama. Bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata menurut atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Hubungan pengawasan hanya dilakukan terhadap hal yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.

Untuk menjawab problematika kewenangan Bawaslu yang masih sangat lemah, bahkan kurang strategis dalam sistem pengawasan dugaan pelanggaran Pilkada 2024 tersebut, sebagai tugas dan kewenangan Bawaslu menyadari bahwa partisipasi politik menjadi wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat adalah suatu hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi. Karena salah satu misi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah mendorong pengawasan partisipatif berbasis masyarakat sipil. Pelibatan masyarakat dalam pengawasan Pilkada itu salah satunya harus diawali dengan proses sosialisasi dan regulasi pengetahuan dan keterampilan pengawasan Pilkada dari pengawas Pilkada kepada masyarakat. Ini adalah salah satu bentuk komunikasi efektif yang dilakukan oleh Bawaslu untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat agar mau terlibat dalam proses Pilkada yang sedang dilaksanakan.

Oleh karena itu, di tengah keterbatasan kewenangan yang ada dan agar menjadi tujuan utama Bawaslu juga tercapai, sebagaimana Pasal 22B dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa Bawaslu telah menetapkan pengaturan mendasar yang menjadi lingkup revisi pengaturan dalam Peraturan Bawaslu Nomor 6 Tahun 2024 ini, yaitu peraturan ini akan menjadi dasar kewenangan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, dengan uraian lingkup pelaksanaan pengawasan jajaran pengawas Pemilihan, mekanisme pengawasan, termasuk format Formulir Model A untuk Pemilihan. Peraturan Bawaslu ini mengatur mengenai Pengawasan Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan menetapkan batasan istilah yang digunakan dalam pengaturannya. Bawaslu memegang tanggung jawab akhir atas Pengawasan penyelenggaraan Pilkada. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan membagi tugas Pengawasan penyelenggaraan Pemilihan sesuai dengan Peraturan Bawaslu yang mengatur mengenai tata kerja dan pola hubungan kewenangan Pengawasan dalam pengawasan Pilkada Serentak 2024 yang menjadi Pilkada terbesar sepanjang sejarah Pemilu Indonesia dengan diselenggarakan di 37 provinsi dan 508 Kabupaten/Kota yang akan memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Berdasarkan kewenangan pengawasan Bawaslu dan seluruh jajaran struktur kelembagaannya yang sampai tingkat kelurahan/desa yakni adanya Panitia Pengawas Lapangan (PPL) dengan berpijak pada UU Pilkada, maka dalam rangka mewujudkan Pilkada serentak 2024 yang berintegritas, ada tiga hal penting yang harus dilakukan sebagai berikut: Pertama, pengaturan dalam Peraturan Bawaslu Nomor 6 Tahun 2024 ini akan menjadi dasar pengawasan penyelenggaraan Pilkada 2024. Kedua, perbaikan rancangan aturan hukum Pilkada khususnya terkait dengan kewenangan Bawaslu. Hal itu bisa dilakukan dengan cara mengajukan uji materi Undang-Undang No 10 Tahun 2016 atau mengusulkan kepada DPR RI untuk merevisi kembali Undang-Undang tersebut. Ketiga, penguatan kewenangan Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi yang bukan hanya sekadar memberi rekomenadasi, tetapi juga harus memiliki kewenangan eksekusi. Setidak-setidaknya, konsep kewenangan pengawasan atas kedaulatan rakyat dalam Pilkada serentak 2024 yang dilakukan oleh Bawaslu dan seluruh jajaran struktur kelembagaan akan lebih optimal dan kewenangan Bawaslu dalam mengawasi Pilkada patut disamakan dengan kewenangan Bawaslu dalam mengawasi Pemilu.



Baca Juga