NAUPAL AL RASYID, SH., MH
(Direktur LBH FRAKSI ’98)
Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024 telah menetapkan jadwal kampanye Pilkada 2024. Berdasarkan peraturan tersebut, kampanye akan dilaksanakan mulai tanggal 25 September 2024-23 November 2024 mendatang dan dikelompokkan kedalam penyelengaraan Pilkada tahapan ke VI. Sedangkan tahapan-tahapan penyelenggara Pilkada sebelumnya adalah: tahapan ke I pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan, tahapan ke II pengumuman pendaftaran pasangan calon, tahapan ke III pendaftaran pasangan calon, tahapan ke IV penelitian persyaratan calon, tahapan ke V penetapan pasangan calon. Adapun tahapan-tahapan yang merupakan tahapan pasca kampanye Pilkada meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut: tahapan ke VII pelaksanaan pemungutan suara, tahapan ke VIII penetapan pasangan calon terpilih tanpa permohonan perselisihan hasil pemilhan (PHP) di MK, tahapan ke VIII penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilhanan, tahapan ke IX penetapan pasangan calon terpilih pasca putusan MK, tahapan ke X penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan, tahapan ke XI penetapan pasangan calon terpilih pasca putusan MK, tahapan XI pengusulan dan pengangkatan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota terpilih dan tahapan XII pengusulan dan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.
Namun, dari data Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) disampaikan Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (Bawaslu.go.id, 2020) membandingkan data tingkat pelanggaran Pilkada 2018 yang dilaksanakan di 171 daerah pada 17 provinsi di 115 kabupaten dan 39 kota dengan Pilkada 2020 di 270 daerah untuk 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Meski jumlah dugaan pelanggaran menurun, namun menurutnya tingkat penanganan pelanggaran mengalami kenaikan dengan bentuk pelanggaran kampanye seperti pemasangan alat peraga kampanye (APK) tak sesuai prosedur yang masih mendominasi pelanggaran administrasi dan memposting keberpihakannya di media sosial yang masih banyak. Dewi menegaskan, berdasarkan jumlah dugaan pelanggaran Pilkada 2018 lebih banyak dibandingkan Pilkada 2020, meskipun daerah pemilihan tahun 2018 lebih sedikit. Selain pelanggaran APK, Bawaslu juga menemukan dan menindak pelanggaran pada penyelenggaraan pra kampanye di media sosial pada Pilkada 2020. Oleh karena itu, pelanggaran kampanye merupakan yang tertinggi dibandingkan dari keempat tahapan pra kampanye Pilkada sebagaimana diuraikan diatas, meskipun pengertian kampanye itu sendiri dalam praktek penyelenggara sering diputarbalikkan.
Pada implementasi kebijakan terkait pengaturan kampanye Pilkada yang diatur sebelumnya dalam Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Selanjutnya, aturan pengawasan diatur oleh Bawaslu dengan mengeluarkan Perbawaslu Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilu dan Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Berdasarkan kebijakan pengaturan kampanye oleh KPU dan Bawaslu menemukan tantangan, yaitu ketidaksamaan pandangan di antara perangkat pelaksana kebijakan. Ketidaksamaan pandangan tersebut muncul karena struktur organisasi yang berjenjang dan proses sosialisasi yang tidak optimal. Tantangan ini biasa ditemukan dalam struktur birokrasi sebagai pelaksana kebijakan. Mengutip Winarno (2002) yang menyatakan adanya hierarki birokrasi yang berlapis-lapis dan mempunyai struktur yang ketat, sehingga kondisi ini akan mempengaruhi tingkat efektivitas komunikasi kebijakan yang dijalankan dalam pengatutan pra kampanye dan kampanye.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, selanjutnya dilakukan tinjauan dan pengamatan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pra kampanye Pilkada. Adapun, pada pokoknya tinjauan pada tahapan penetapan pasangan calon dikaitkan dengan penggunaan media sosial sebagai alat kampanye yang dilakukan pasangan calon, maka sangat penting untuk mendefinisikan secara jelas yang dimaksud dengan citra diri pasangan calon dalam aturan pra kampanye. Kejelasan definisi tersebut akan menentukan jenis konten di media sosial pasangan calon Pilkada, apakah masuk dalam kategori materi kampanye atau non-kampanye. Dengan kata lain, masalah definisi tersebut juga berdampak pada aspek pengaturan materi dan iklan kampanye yang memiliki konten media sosial yang tidak secara langsung berhubungan dengan kampanye. Di sisi lain, konten tersebut dapat dilihat sebagai pandangan politik maupun profil individu pasangan calon tersebut yang dapat menarik perhatian kelompok pemilih tertentu. Contohnya, pasangan calon yang memposting aktivitas individu dengan mengikuti konser musik, melakukan aktivitas olahraga maupun melakukan aktivitas yang sedang tren di media sosial lainnya yang dilakukan pada masa pra kampanye Pilkada.
Masalah dalam tahapan penetapan pasangan calon harus diamati dari dua sisi, yaitu sisi pertama, keberadaan peraturan yang jelas dan tegas, dengan ketentuan yang rinci dan baku juga diperlukan sebagai payung hukum bagi para penyelenggara Pilkada untuk melakukan harmonisasi peraturan terkait pra kampanye di media sosial dan memberlakukannya nanti kepada para peserta kampanye di Pilkada serentak di tahun 2024. Mengingat masih adanya kampanye yang dilakukan dengan metode langsung, penataan hukum yang spesifik dan jelas diperlukan untuk mengatur kampanye yang dilakukan di media sosial agar jelas perbedaan ranah, subyek hukum, ketentuan kampanye, sanksi, serta pemangku kepentingan yang terkait yang bertanggung jawab dalam hal ini. Sisi ini juga mencatat pentingnya memperkuat sanksi administratif yang diterapkan penyelenggara Pilkada dengan indikator yang jelas. Sisi kedua, aspek implementasi kebijakan, penataan aturan hukum tentang kampanye Pilkada di media sosial juga diharapkan merefleksikan sikap dan posisi yang selaras antara KPU dan Bawaslu tentang pentingnya pengaturan pra kampanye di media sosial. Hal ini penting untuk menjawab permasalahan perbedaan pandangan antara kedua lembaga penyelenggara Pemilu tersebut dalam mengimplementasikan aturan pra kampanye di media sosial. Adanya kesepahaman pandangan antara KPU dan Bawaslu harus juga didukung dengan pelaksanaan kebijakan lewat peraturan teknis yang kuat, untuk ikut melakukan edukasi politik dan literasi digital kepada segenap aparatnya, peserta Pemilu, media, pemangku kebijakan, serta masyarakat pada umumnya, terkait isu Pilkada, khususnya kampanye di media sosial.
Memang benarlah, jika ada pendapat yang mengatakan Pilkada 2024 ini dapat memunculkan disharmoni dalam pengawasan kampanye media sosial, bila diamati pada aspek definisi media sosial. Pada pengaturan kampanye Pilkada sebelumnya , definisi media sosial hanya tercantum pada PKPU Nomor 11 Tahun 2020. Pada Pasal 1 angka 28, disebutkan media sosial adalah platform berbasis internet yang bersifat dua arah yang terbuka bagi siapa saja, yang memungkinkan para penggunanya berinteraksi, berpartisipasi, berdiskusi, berkolaborasi, berbagi, serta menciptakan konten berbasis komunitas. Permasalahan dalam aspek definisi media sosial secara normatif tidak berbeda dengan pengaturan kampanye di Pilkada, yaitu definisi tersebut belum memuat perkembangan dari media sosial itu sendiri. Hal ini akan menimbulkan persoalan dalam aspek pengaturan dan pengawasan kampanye yang dilakukan di media sosial pada masa pra kampanye Pilkada. Persoalan aspek pengaturan dan pengawasan pra kampanye juga karena tidak dicantumkannya definisi media sosial di dalam Perbawaslu pengawasan kampanye Pilkada sebelumnya. Diharapkan dengan adanya aturan yang spesifik mengenai pra kampanye Pilkada di media sosial nantinya, penyelenggara Pilkada dapat mendorong para peserta kampanye untuk melakukan kampanye politik yang informatif dan edukatif di media sosial. Persoalan konten juga harus termasuk kebebasan pers, ketika penerapan kebijakannya merujuk pada misalnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang selama ini masih dinilai bermasalah akibat pasal multitafsir dan kecenderungan digunakan dengan konteks hukum pidana.
Jika ditarik dari ke suatu hal yang bersifat simpulan, maka pelanggaran pra kampanye di media sosial pada Pilkada serentak ini salah satunya terjadi karena aspek implementasi kebijakan KPU dan Bawaslu perlu menyamakan persepsi mengenai definisi pra kampanye dan kampanye, definisi media sosial, materi kampanye, metode kampanye, larangan kampanye, iklan kampanye, serta sanksi pelanggaran kampanye di media sosial. Lebih jauh, peningkatan pemahaman penyelenggara Pilkada di daerah tentang mekanisme pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran dalam kampanye Pilkada di media sosial juga menjadi hal yang juga penting dilakukan. Kesamaan pandangan ini diharapkan memberikan kepastian dalam penegakan hukum seperti yang diatur pada Peraturan KPU dan Perbawaslu tentang pra kampanye, kampanye dan pasca kampanye Pilkada serentak 2024.