Minggu, 22 Des 2024
Hukum

UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA DALAM PILKADA

NAUPAL AL RASYID, SH., MH

(Direktur LBH FRAKSI ’98)

Pengaturan tindak pidana yang terjadi dalam Pilkada memang merupakan rangkaian perbuatan terlarang terhadap hak politik dan perbuatan curang tertentu yang sangat berpotensi mengganggu integritas penyelenggaran Pilkada, seperti perbuatan menghilangkan hak pilih orang lain, melakukan politik uang, penggelembungan suara, kampanye hitam dan lain sebagainya. Potensi pelanggaran tersebut tidak hanya dilakukan oleh individu sebagai pelaku dan kontestan tetapi juga dilakukan oleh korporasi atau partai politik. Bentuk-bentuk unsur yang objektif dan subjektif pada pelaku tindak pidana dalam Pilkada dibedakan berdasarkan subjeknya, yaitu subjek hukum setiap orang dan badan hukum atau korporasi dan objektif sebagai pelaku, dan objektif berupa suatu tindakan, akibat tertentu dan keadaan. Ketentuan pidana yang dilakukan oleh setiap orang sebagai pelaku tindak pidana Pilkada terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada (UU Pilkada) mengatur tentang ketentuan mengenai tindak pidana Pilkada yang diatur dalam Bab XXIV tentang ketentuan pidana yang terdiri empat puluh empat (44) pasal mulai dari Pasal 177 sampai dengan Pasal 198A dalam empat puluh empat pasal tersebut menggambarkan unsur-unsur tindak pidana Pilkada.

Tindak pidana dalam UU Pilkada dirumuskan sebagai berikut: Pertama, Perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar atau palsu, memalsukan surat data dan daftar`pemilih, dan tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi diatur dalam pasal 177,177A, 177B, 177C, Pasal 179, Pasal 184, Pasal 185, Pasal 185A, Pasal 185B dan Pasal 186, Pasal 186A. Kedua, Perbuatan mengaku sebagai orang lain, merintangi hak orang lain, melakukan tipu muslihat dan merusak atau menggagalkan hasil pemilihan dan pemungutan suara diatur dalam pasal 178, Pasal178A sampai Pasal 178H, Pasal 180, pasal 181, pasal 182, Pasal 182A, Pasal 182B, dan Pasal 183. Ketiga, Perbuatan melanggar ketentuan kampanye, diatur dalam Pasal 187. Keempat, Perbuatan melakukan suap dan menerima suap diatur dalam pasal 187A, Pasal 187B, Pasal 187C, Pasal 187D. Kelima, Pelanggaran terhadap netralitas ASN, TNI dan POLRI diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 189. Keenam, Perbuatan merubah jumlah surat suara, diatur dalam Pasal 190 dan Pasal 190A. Ketujuh, Perbuatan yang dilakukan oleh Calon Gubernur, Calon Bupati dan Calon Walikota dan Partai politik atau Pimpinan Partai politik yang mengundurkan diri dan menarik calonnya dalam penyelenggaraan Pilkada yang telah berjalan, diatur dalam Pasal Pasal 191 dan Pasal 192, dan Kedepalan, Perbuatan melanggar ketentuan pemilihan lainnya yang dilakukan oleh KPU, KPPS, PPS dan Panwas yang diatur dalam Pasal 193, Pasal 193A, Pasal 194, Pasal 195, Pasal 197, Pasal 198 dan Pasal 198A. Sedangkan, proses dan tata cara penanganan tindak pidana Pilkada mulai dari laporan/temuan dugaan adanya tindak pidana pemilihan sampai dengan pemeriksaan sidang pengadilan juga diatur tersendiri dalam UU Pilkada. Penanganan tindak pidana Pilkada secara lebih khusus diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Berdasarkan rumusan pasal-pasal ketentuan pidana dalam UU Pilkada tersebut, unsur-unsur yang terkandung dalam rumusan tindak pidana hampir sama dengan KUHP atau perundang-undangan lain yang menggunakan sanksi pidana dan dalam tindak pidana Pilkada juga mengenal unsur objektif dan subjektif diatur dalam pasal 177,177A, 177B, 177C, Pasal 179, Pasal 184, Pasal 185, Pasal 185A, Pasal 185B dan Pasal 186, Pasal 186A. Sebagai contoh Pasal 177 UU Pilkada yang menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih”. Disini unsur objektifnya adalah memberikan keterangann yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih. Selanjutnya, unsur subjektifnya adalah setiap orang yang dengan sengaja. Dengan demikian, kesalahan yang digunakan dalam pasal a quo adalah kesengajaan (dolus). Maka tindak pidana Pilkada ini hanya dapat dilakukan dengan sengaja bukan kealpaan (culpa), dimana unsur setiap orang pada dasarnya tidak ada perbedaan antara UU Pilkada dan KUHP dan penafsiran teoritis maupun praktis hukum akan menafsir makna setiap orang tersebut sama.

Adapun, secara eksplisit unsur melawan hukum tindak pidana dalam Pilkada dapat dijumpai pada Pasal 193, Pasal 193A, Pasal 194, Pasal 195, Pasal 197, Pasal 198 dan Pasal 198A. Meskipun unsur melawan hukum telah disebutkan dalam sebagian rumusan tindak pidana Pilkada, belum ada konsensus bersama diantara para ahli tentang apakah unsur ini merupakan unsur mutlak dari tindak pidana atau bukan. Secara umum terdapat tiga pandangan terkait keberlakuan unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana. Pandangan Pertama, pandangan formil yang unsur melawan hukum bukanlah unsur mutlak tindak pidana. Salah seorang penganut pandangan formil ini adalah Pompe. Meskipun demikian, melawan hukum bukanlah unsur mutlak, namun adanya hal-hal yang menghapus unsur melawan hukum itu akan menghapus pula adanya pidana. Dalan hal demikian, maka hal dipidananya si pembuat yang melakukan perbuatan tersebut akan dihapuskan. (Roeslan Saleh, 1983). Pandangan Kedua, pandangan materiil yang menurut pandangan ini melawan hukum adalah unsur mutlak dari suatu tindak pidana. Penganut pandangan ini antaranya Moeljatno yang menyatakan bahwa melawan hukum adalah unsur yan harus ada dari tindak pidana. Jika unsur melawan hukum tidak disebutkan dalam rumusan tindak pidana, unsur itu dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa. (Moeljatno, 2008). Atas pendapat tersebut, melawan hukum sebagai unsur mutlak harus ada dari tindak pidana dalam Pilkada. Selanjutnya, pandangan Ketiga, pandangan tengah yang secara substantive dipelopori oleh Hazewinkel Zuringa yang menyatakan bahwa sifat melawan hukum itu hanya merupakan unsur mutlak dari suatu tindak pidana, bilaman undang-undan menyebutkan dengan tegas sebagai unsur. Dalam hal undang-undang tidak menyebutkannya dengan tegas sebagai unsur tindak pidana, maka melawan hukum hanyalah suatu tanda dari suatu tindak pidana. Pendapat ini didukung oleh Eddy O.S. Hiariej dengan menyatakan bahwa di satu sisi unsur melawan hukum merupakan unsur mutlak dalam tindak pidana jika disebut secara expressive verbis dalam rumusan tindak pidana, sehingga membawa konsekuensi harus dibuktikan oleh penuntut umum. Namun di sisi yang lain, jika unsur melawan hukum tidak disebutkan dalam rumusan tindak pidana, unsur tersebut dianggap ada namun tidak perlu dibuktikan oleh penuntut umum. (Eddy O.S. Hiariej, 2021).

Selanjutnya, mengenai unsur subjektif dan unsur objektif menurut Poernomo (1996), bahwa unsur subjektif berkaitan dengan pelaku (mens rea/subjectief onrechtselement) sedangkan unsur objektif berkaitan dengan perbuatan (actus reus/objektief onrechtselement). Pengejawantahkan kedua unsur tersebut, dapat di contohkan pada Pasal 177A UU Pilkada yang menyatakan, “setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsulkan data dan daftar pemilih sebagaimana dimaksud Pasal 58”. Adapun unsur subjektif dari pasal a quo adalah setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, kedua unsur ini berkaitan dengan pelaku (mens rea). Sementara itu, unsur objektifnya adalah memalsulkan data dan daftar pemilih sebagaimana dimaksud Pasal 58. Unsur-unsut a quo berkaitan dengan perbuatan (actus reus), sedangkan bagian akhir bertalian dengan daftar pemilih Pasal 58 UU Pilkada.

Jadi, pengaturan mengenai unsur-unsur tindak pidana dalam Pilkada ini perlu dibedakan secara jelas antara unsur-unsur dan perbuatan seperti yang tercantum dalam mengenai tindak pidana Pilkada yang diatur dalam Bab XXIV tentang ketentuan pidana yang terdiri empat puluh empat (44) pasal mulai dari Pasal 177 sampai dengan Pasal 198A, kemudian perkataan unsur-unsur merupakan syarat yang diperlukan untuk dapat dipidanakannnya suatu perbuatan tindak pidana dalam Pilkada. Sehingga korelasi penjelasan dan relevansi dengan unsur-unsur tindak pidana dalam Pilkada yang lebih mengarah kepada unsur-unsur tindak pidana (bestandeel delict) dalam Pilkada, yakni unsur melawan hukum dan unsur objektif serta unsur subjektif yang meliputi unsur di luar diri pelaku, berupa suatu tindakan (handeling), akibat tertentu (een bepaald gevol) dan keadaan (omstandigheid). Sementara itu, unsur subjektif berkaiatan dengan kesalahan (schuld) dan dapat dipertanggung-jawabkan perbuatannya dan memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana dalam Pilkada.



Baca Juga