Dunia berduka atas syahidnya Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas yang konsisten membebaskan negerinya Palestina yang ditindas Israel. Ia gugur sebagai syahid (martir). Syahid adalah pencapaian tertinggi nilai kemanusian menuju kesempurnaan. Begitu agungnya makna syahid sehingga Al-Qur’an mengatakan, “Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sebenarnya, mereka itu hidup dan dianugerahi rezeki di sisi Tuhannya.” {Q.S 3:169).
Begitu mulianya mati seorang syahid, sampai dalam fiqh Islam jasadnya tidak perlu dimandikan dan dikafani, hanya wajib dikuburkan dan didoakan. Mengapa para syuhada begitu mulia? Karena seorang syahid adalah ‘candle of huminity’, cahaya yang menerangi nilai-nilai kemanusiaan, meskipun secara ragawi ia lumat, seperti lilin yang fungsinya membakar dan memberi cahaya, yang pada akhirnya padam.
Murtadha Muthahhari, seorang ulama yang juga seorang syahid menggambarkan bahwa darah seorang syahid tidak terbuang sia-sia, darahnya tidak tertumpah ke bumi. Setiap tetes darah syahid menjadi ratusan bahkan ribuan tetes, mengalir seperti lautan, masuk ke dalam urat nadi masyarakat. Nabi bersabda: “Tidak ada setetes pun yang lebih dicintai di sisi Allah daripada setetes darah yang tertumpah di jalan Allah.”Artinya, tidak ada setetes pun yang lebih berharga daripada setetes darah seorang syahid. Syahid berarti menyuntikkan darah ke dalam urat nadi masyarakat. Para syahid adalah mereka yang menyumbangkan darah baru dan segar bagi tubuh masyarakat, khususnya masyarakat yang telah banyak kehilangan darahnya.
Dunia berhutang budi kepada para syuhada. Bangsa kita tidak merdeka kalo bukan dari tetesan darah para pejuang kemerdekaan yang menjadi syahid ditindas kolonial Belanda. Sepanjang sejarah peradaban manusia dilukis melalui tetesan darah para martir, apa pun agamanya. Mereka mewarisi penghulu para syuhada, Sayyidina Husain, cucunda Nabi saw,