Sabtu, 17 Mei 2025
Profil

Sosok Haji Darip, Jawara Legenda Betawi

 

Haji Darip, atau Muhammad Arif, merupakan salah satu tokoh paling legendaris dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di wilayah Bekasi dan Jakarta Timur. Lahir di Klender pada tahun 1886, Haji Darip bukan sekadar jawara silat yang ditakuti, melainkan juga seorang ulama, pemimpin spiritual, dan panglima perang yang memiliki pengaruh besar di masanya . Kehidupannya yang penuh dengan petualangan, perlawanan terhadap penjajah, dan dedikasi pada agama menjadikannya simbol perlawanan rakyat kecil terhadap kekuatan asing.

Masa Muda dan Pendidikan Nonformal

Sebagai putra bungsu dari tiga bersaudara pasangan H. Kurdin dan Hj. Nyai, Haji Darip tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan nilai-nilai Islam dan tradisi Betawi . Yang menarik, meskipun tidak menempuh pendidikan formal seperti sekolah umum, Darip kecil belajar membaca dan menulis dari teman-temannya, termasuk saat berada di balik jeruji penjara . Pendidikan agamanya dimulai di kampung halamannya sebelum kemudian dikirim orang tuanya ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama selama periode 1914-1919 .

Setelah kembali dari Tanah Suci dimana ia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh Islam internasional , Haji Darip memulai perjuangannya melalui dakwah di sebuah musala kecil di Klender yang kini berkembang menjadi Masjid Al-Makmur . Namun, situasi politik yang memanas selama pendudukan Jepang mengubah jalannya. Ketika rakyat Jakarta mulai kelaparan karena bahan pokok dirampas Jepang , Haji Darip bangkit memimpin perlawanan dengan menghimpun para jawara dan pemuda setempat .

Kepemimpinan dalam Perlawanan

Haji Darip membentuk Barisan Rakyat (BARA) yang kemudian berkembang menjadi Barisan Pejuang Rakyat Indonesia (BPRI) . Dengan julukan “Panglima Perang Klender” atau “Generalissimo van Klender” , ia memimpin serangan-serangan berani terhadap tentara Jepang di berbagai lokasi seperti Pangkalan Jati, Pondok Gede, dan sepanjang Kali Cipinang . Strateginya yang cerdik dan kemampuan silatnya yang luar biasa membuatnya ditakuti musuh .

Pasca proklamasi kemerdekaan, ketika Belanda berusaha kembali menjajah Indonesia, Haji Darip menjadi salah satu tokoh kunci dalam mempertahankan kemerdekaan. Ia bahkan terlibat dalam peristiwa penting seperti Rengasdengklok, dimana ia menjadi saksi sekaligus penasihat dalam penyusunan strategi proklamasi . Wilayah kekuasaannya meliputi Bekasi, Pulogadung, Klender sampai Jatinegara menjadi benteng pertahanan rakyat yang sulit ditembus Belanda .

Di balik kisah heroiknya, Haji Darip adalah manusia biasa dengan kehidupan pribadi yang penuh liku. Ia menikah dua kali – pertama dengan wanita pilihan orangtuanya yang meninggal saat anak mereka berusia 2 tahun, kemudian dengan Hajjah Amidah yang memberinya 11 orang anak . Masyarakat juga mempercayai berbagai legenda tentang kesaktiannya, seperti kebal peluru dan memiliki ‘aji pengasihan’ yang bisa menundukkan penjahat .

Setelah penyerahan kedaulatan tahun 1949, Haji Darip memilih hidup sederhana sebagai ulama dan menolak gelar veteran maupun pahlawan . Ia wafat pada 13 Juni 1981 dan dimakamkan di Pemakaman Wakaf Ar-Rahman, Jatinegara Kaum . Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan di bekas wilayah kekuasaannya, menggantikan Jalan Bekasi Timur Raya , menjadi bukti abadi atas kontribusinya bagi bangsa.

Kisah Haji Darip bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan pelajaran berharga tentang kepemimpinan yang tumbuh dari akar rumput, keberanian melawan ketidakadilan, dan integritas sebagai ulama-pejuang. Dari musala kecil di Klender hingga medan pertempuran melawan penjajah, legasinya terus menginspirasi generasi muda untuk mencintai tanah air sebagaimana prinsipnya: “mencintai Tanah Air merupakan bagian dari iman” . (DS)