Prosa Liris
*JAKARTA DAN MANUSIA SISA SISA*
budbud
Namaku Gepeng,
Gelandangan dan Pengemis
Lalu mereka mengganti Anja,l
Anak jalanan.
Sebagian orang menyebutku manusia sisa-sisa
30 tahun tinggal di Jakarta
Tetap bertahan diri
Kenyataan diriku berulang jutaan kali dikota ini.
Sebuah realitas kekalahan dalam persaingan hidup
Ya Kekalahan….
Kekalahan bukan karena bodoh
Tapi masuk dalam proses pembodohan..
Dan aku hanya salah satu diantara berjuta manusia, yang masuk dalam perangkap itu.
Otak cerdas dilumpuhkan
Agama diputar balikan
Yang lacur disanjung sanjung
Yang suci dicekoki,
Hampir-hampir aku kehilangan batas antara gila dan waras.
Sebagaimana sampah, sedikit dibuang – Jika banyak mendatangkan uang.
Begitupun sampah masyarakat seperti aku.
Manusia atas nama relawan
Menjual kamu keluar negeriku dg miliaran rupiah
Atas nama demokrasi
Suara kami dihargai sebungkus nasi..
Di Jakarta
Kumenyewa gubuk sempit
Satu pintu tanpa jendela
Kanan kiri dihimpit hotel pencakar langit.
Atap rumah
Selain pelindung dari sengatan matahari,
Juga pelindung kami
Dari sampah orang orang
di Hotel itu
Kadang tisu bekas
Kadang sisa2 nasi
Tidak sedikit alat kontrasepsi
Kadang bayi merah
tanpa ayah.
Sesekali dahak mereka memuncrat dimukaku
Di ruang sempit itu kuletakkan kepalaku,
setelah keletihan seharian
menjalani kerasnya hidup
Sebagaimana kerasnya hidup para nelayan yang diperalat para tengkulak.
Atau kehidupan kuli-kuli galian yang terpinggirkan.
Atau kehidupan para sopir, buruh-buruh tani tanpa lahan.
Dan juga, sebagian warga Jakarta yang hidup tanpa KTP.
Yang keberadaannya tidak dianggap ada.
Mereka semua adalah orang-orang yang terlempar dari tanah airnya sendiri.
Seperti ikan-ikan dilaut
yang terlempar kepantai berpasir yang kering…., terengap-engap…
setelah itu mati pelan-pelan.
Kematian kami tidak selalu dalam raganya.
Kematian kami juga jiwanya
Hak berpikir
Hak hidup layak
Hak bersekolah
Hak beribadah
Hak apa lagi?
Hampir-hampir hak menghirup oksigen pun terampas dan dirampas
Jadilah kami manusia sisa-sisa
Cita-cita kami tergusur
Suara hati nurani dimatikan
Keyakinan kami tercabik.
Atribut-atribut kemanusiaan terinjak sistem tirani masa kini.
Dipaksa menyesatkan orang-orang yang tidak sesat
Dipaksa memusuhi orang-orang yang tak pantas saya musuhi.
Tragedi ini tidak berhenti disini.
Kami punya generasi
Generasi kami punya generasi berikutnya.
Tapi selalu saja generasi kami selalu dipihak yang terkorbankan.
Sebuah tahta ketertindasan
Sulit sekali membedakan
Keadilan dan ketertindasan
karena ketertindasan hampir-hampir jadi kenyataan hidup sehari hari
Bahkan keadilan yang mereka kumandangkan
Adalah bentuk penindasan itu sendiri..
Sekian tahun
Rumahku kujadikan sebagaimana rumah para Nabi yg sederhana.
Lalu kubayangkan malaikat-malaikat singgah di rumah mungilku dalam wajah-wajah si miskin.
Ya… si miskin
yang bukan menyerah kalah
tetapi si miskin yang berani mengetuk pintu hati para majikan yang berjegang..
Yang berani menggedor pintu lumbung mereka
Dan berkata apa adanya,
“Hai kalian…!”
Sekian kali kami meminta nasi, tapi kemanusiaan kalian telah mati.
Sampai suatu hari nanti aku tidak Sudi meminta lagi
Semua akan kuambil sendiri.
“Hai kalian…!”
Nabi yang mana yg mengajari hidup bagai srigala ditengah domba-domba.
Mengapa engkau telan juga nasi yang bercampur keringat orang orang susah
Perilaku kalian..
Telah melahirkan beribu para pembunuh dari pecinta kedamaian
Perilaku kalian..
Telah merubah si lembut
Menjadi pelaku kejahatan.
Jakarta kini,
butuh hati yang berbagi
Bergandeng tangan
Dalam kemanusiaan dan adab
Tanpa prasangka
Dan tanpa pura pura.
Kami butuh Pemimpin Jakarta, yang berbicara bangsa tidak untuk para majikan….
Tapi untuk Rakyat jelata.
Satu hati setelah itu berarti
Wis